IVAnews – Erupsi Merapi mengancam Candi Borobudur. Abu vulkanik setebal 2 centimeter yang mengandung sulfur berpotensi melapukkan candi yang dibangun Wangsa Syailendra itu.
Sejak erupsi pertama, Selasa 26 Oktober 2010, abu telah mengguyur candi Budha itu. Upaya penyelamatan pun dilakukan. Jumat pagi, 12 November 2010, tim mulai bekerja, mempersiapkan alat dan mulai menyingkirkan abu Merapi.
“Hingga pukul 16.00 WIB, kami telah membersihkan 16 stupa di lapisan paling atas,” kata Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur (BKPB), Marsis Sutopo ketika dihubungi VIVAnews, Jumat sore.
Stupa-stupa itu telah dibersihkan dari abu dan debu. Caranya, dengan disikat dan disapu. “Lalu, kami netralisasi sulfur atau belerang yang menempel di batu dengan natrium bikarbonat,” kata Marsis.
Bahan apa yang digunakan untuk netralisasi? “Itu yang sering dipakai ibu-ibu masak kue supaya mengembang. Soda kue,” jelas dia, tertawa.
Bahan sederhana yang mudah didapat itulah, yang jadi ‘penyelamat’ Borobudur. “Kalau sulfur diketemukan dengan soda, akan menguap,” kata dia, menjelaskan proses kerja soda kue.
Setelah dinetralisasi, proses selanjutnya, adalah membungkus stupa-stupa dengan plastik, agar terlindungi dari hujan abu yang sewaktu-waktu bisa turun.
“Nanti, kalau keadaan Merapi normal, baru bungkusan stupa kita buka, lalu dibersihkan dengan air. Air akan menyingkirkan sisa-sisa pasir dan debu, juga membersihkan soda kue,” tambah dia.
Dengan luasan dan tinggi Candi Borobudur, Marsis memperkirakan butuh waktu sebulan untuk melakukan pembersihan. “Yang kita bersihkan itu yang langsung berhadapan dengan langit, seperti stupa dan lantai. Kalau relief kan tegak lurus masih ada pelindungnya,” tambah dia.
Bagaimana jika Borobudur dibiarkan tertutup abu? Kata Marsis ada dua risiko yang harus dihadapi.
Pertama, soal artistik. “Bayangkan candi sebesar itu ditutupi abu dan lumpur,” kata dia.
Kedua, abu Merapi mengandung sulfur yang bersifat asam. “Dalam pengukuran kami, derajat keasaman atau Ph 4-5, agak tinggi. Kalau dibiarkan menempel, batunya lama kelamaan akan mengalami pelapukan,” tambah dia.
Dan jangan lupa, Borobudur adalah warisan dunia yang diakui UNESCO. “Ada standar pemeliharaan yang digariskan UNESCO. Tidak seperti membersihkan rumah kita yang kena abu, harus ada pertanggungjawaban ilmiah yang digariskan konvensi internasional,” kata dia.
Marsis mengakui, bukan kali ini saja Borobudur diselimuti debu. Dalam sejarah pengeloaan sebagai warisan dunia sejak 1991, Borobudur juga diselimuti abu letusan Merapi tahun 1996, 2006, dan 2010 ini.
“Tapi, yang paling berat ya sekarang ini. Dulu, abunya tipis, tak bersifat asam karena kadar sulfur tidak tinggi,” kata dia.
Hujan abu saat ini juga tidak disertai hujan deras yang menggelontor abu. Apalagi, tambah dia, kapan Merapi berhenti bergolak, tak pasti. Hujan abu terus mengguyur daerah Muntilan, juga Borobudur yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari Merapi.
Pernah hilang?
Meski telah lama tegak menjulang, Borobudur masih menyimpan banyak misteri. Salah satunya, adalah pertanyaan besar yang belum terjawab, mengapa saat ditemukan candi itu dalam kondisi terkubur.
Sejumlah spekulasi berseliweran. Ada yang mengatakan, letusan Merapi pada 1006 telah menghancurkan kebudayaan Mataram Hindu di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, membendung aliran Sungai Progo, membentuk danau besar di Kedu Selatan, serta mengubur Candi Borobudur yang berjarak 30 kilometer dari Merapi.
Dalil ini diungkap Van Bemmelen dalam bukunya "The Geology of Indonesia" yang menyebutkan bahwa piroklastika Merapi pada letusan besar tahun 1006 telah menutupi danau Borobudur menjadi kering dan sekaligus menutupi candi ini hingga lenyap dari sejarah.
Apa yang diungkap Van Bemmelen mungkin terinspirasi tulisan W.O.J. Nieuwenkamp, seorang arsitek, pemahat, pelukis, etnolog Belanda di Indonesia tahun 1933. Ia mengeluarkan hipotesis yang menggegerkan kalangan para sejarawan saat itu: bahwa Borobudur dulunya dibangun di tengah-tengah telaga seperti bunga teratai di tengah kolam. Hipotesisnya itu ditulisnya di majalah umum yang terbit di Belanda ”Het Boroboedoermeer” – Algemeen Handelsblaad, Deen Haag, 9 September 1933.
Namun, penelitian Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta, Indonesia 2006 membantah hipotesis Borobudur tertimbun karena letusan Merapi.
Jika benar tertutupnya Borobudur akibat letusan Gunung Merapi, mengapa tidak ditemukan sisa endapan yang mempunyai korelasi dengan endapan hasil letusan sekitar waktu tersebut. Letusan yang mengubur candi mestinya sangat besar, dan meninggalkan endapan yang seharusnya mudah ditemukan.
Apalagi berdasarkan Prasasti Prasasti Kalkuta di India yang berangka tahun 963 Saka (1041) atau Prasasti Pucangan dinyatakan bahwa telah terjadi bencana besar (pralaya) pada tahun 928 Saka (tahun 1006) akibat serangan Raja Wurawari dari Lwaram terhadap Kerajaan Mataram Hindu.
Berdasarkan catatan sejarah, “pralaya” yang disebut dalam Prasasti Pucangan tidak pernah terjadi pada tahun 1006, tetapi 1016 atau tahun 1017. Dan itu akibat serangan, bukan letusan Merapi.
Namun, apapun penyebab lenyapnya Borobudur, kita berutang banyak pada Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa.
Pada 1814, ia yang mendengar ada temuan benda purbakala di Desa Borobudur. Raffles kemudian memerintahkan ilmuwan, H.C Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, yang saat itu berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
Kerja Raffles kemudian diteruskan Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1907 menunjuk Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911. Melalui proses panjang, Borobudur yang dulu terbenam, bisa menatap Matahari dan berdiri tegak hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar